Friday, July 27, 2012

PAKAIAN WANITA DALAM SHOLAT

Pakaian Wanita dalam Shalat


1.Pertanyaan


Apakah boleh shalat memakai pantaloon (celana panjang ketat) bagi wanita dan lelaki. Bagaimana pula hukum syar’inya bila wanita memakai pakaian yang bahannya tipis namun tidak menampakkan auratnya?


Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Pakaian yang ketat yang membentuk anggota-anggota tubuh dan menggambarkan tubuh wanita, anggota-anggota badan berikut lekuk-lekuknya tidak boleh dipakai, baik bagi laki-laki maupun wanita. Bahkan untuk wanita lebih sangat pelarangannya karena fitnah (godaan) yang ditimbulkannya lebih besar.


Adapun dalam shalat, bila memang seseorang shalat dalam keadaan auratnya tertutup dengan pakaian tersebut maka shalatnya sah karena adanya penutup aurat, akan tetapi orang yang berpakaian ketat tersebut berdosa. Karena terkadang ada amalan shalat yang tidak ia laksanakan dengan semestinya disebabkan ketatnya pakaiannya. Ini dari satu sisi. Sisi yang kedua, pakaian semacam ini akan mengundang fitnah dan menarik pandangan (orang lain), terlebih lagi bila ia seorang wanita.


Maka wajib bagi si wanita untuk menutup tubuhnya dengan pakaian yang lebar dan lapang, tidak menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya, tidak mengundang pandangan (karena ketatnya), dan juga pakaian itu tidak tipis menerawang. Hendaknya pakaian itu merupakan pakaian yang dapat menutupi tubuh si wanita secara sempurna, tanpa ada sedikitpun dari tubuhnya yang tampak. Pakaian itu tidak boleh pendek sehingga menampakkan kedua betisnya, dua lengannya, atau dua telapak tangannya. Si wanita tidak boleh pula membuka wajahnya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya tapi ia harus menutup seluruh tubuhnya. Pakaiannya tidak boleh tipis sehingga tampak tubuhnya di balik pakaian tersebut atau tampak warna kulitnya. Yang seperti ini jelas tidak teranggap sebagai pakaian yang dapat menutupi.


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam hadits yang shahih1:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: رِجَالٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسُ وَنِساَءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسَهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ لاَ يَجِدْنَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang saat ini aku belum melihat keduanya. Yang pertama, satu kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor sapi, yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka miring dan membuat miring orang lain. Kepala-kepala mereka semisal punuk unta, mereka tidak akan mencium wanginya surga.”


Makna كَاسِيَاتٌ: mereka mengenakan pakaian akan tetapi hakikatnya mereka telanjang karena pakaian tersebut tidak menutupi tubuh mereka. Modelnya saja berupa pakaian akan tetapi tidak dapat menutupi apa yang ada di baliknya, mungkin karena tipisnya atau karena pendeknya atau kurang panjang untuk menutupi tubuh.


Maka wajib bagi para muslimah untuk memperhatikan hal ini. (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/158-159)


2.Pertanyaan:


Kebanyakan wanita bermudah-mudah dalam masalah aurat mereka di dalam shalat. Mereka membiarkan kedua lengan bawahnya atau sedikit darinya terbuka/tampak saat shalat, demikian pula telapak kaki bahkan terkadang terlihat sebagian betisnya, apakah seperti ini shalatnya sah?


Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullahu memberikan jawaban, “Yang wajib bagi wanita merdeka dan mukallaf untuk menutup seluruh tubuhnya dalam shalat terkecuali wajah dan dua telapak tangan, karena seluruh tubuh wanita aurat.


Bila ia shalat sementara tampak sesuatu dari auratnya, seperti betis, telapak kaki, kepala atau sebagiannya, maka shalatnya tidak sah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ الْحَائِضِ إِلاَّ بِخِمَارٍ


Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid kecuali bila mengenakan kerudung.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali An-Nasa’i dengan sanad yang shahih)


Yang dimaksud haid dalam hadits di atas adalah baligh.


Juga berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ


Wanita itu aurat.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan dalam Al-Misykat (no. 3109), Al-Irwa’ (no. 273), dan Ash-Shahihul Musnad (2/36). –pen.)


Juga riwayat Abu Dawud dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang shalat memakai dira’ (pakaian yang biasa dikenakan wanita di rumahnya, semacam daster) dan khimar (kerudung) tanpa memakai izar (sarung/pakaian yang menutupi bagian bawah tubuh). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:


إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ


“(Boleh) apabila dira’ tersebut luas/lebar hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Bulughul Maram berkata, “Para imam menshahihkan mauqufnya haditsnya atas Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.” (
Yakni hadits di atas adalah ucapan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.)


Bila di dekat si wanita (di sekitar tempat shalatnya) ada lelaki ajnabi maka wajib baginya menutup pula wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/ 409)
3.Pertanyaan
Kita perhatikan sebagian orang yang shalat mereka mengenakan pakaian yang tipis hingga bisa terlihat kulit di balik pakaian tersebut. Apa hukumnya shalat dengan pakaian seperti itu?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullahu menjawab, “Wajib bagi orang yang shalat untuk menutup auratnya ketika shalat menurut kesepakatan kaum muslimin dan tidak boleh ia shalat dalam keadaaan telanjang, sama saja apakah ia lelaki ataukah wanita.
Wanita lebih sangat lagi auratnya. Kalau lelaki, auratnya dalam shalat adalah antara pusar dan lutut disertai dengan menutup dua pundak atau salah satunya bila memang ia mampu, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu:
إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعًا فَالْتَحِف بِهِ، وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ


Bila pakaian/kain itu lebar/lapang maka berselimutlah engkau dengannya (menutupi pundak) namun bila kain itu sempit bersarunglah dengannya (menutupi tubuh bagian bawah).” (Muttafaqun ‘alaihi)


Juga berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
لاَيُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ


Tidak boleh salah seorang dari kalian shalat dengan mengenakan satu pakaian/kain sementara tidak ada sedikitpun bagian dari kain itu yang menutupi pundaknya.”


Hadits ini disepakati keshahihannya.


Adapun wanita, seluruh tubuhnya aurat di dalam shalat terkecuali wajahnya.
Ulama bersilang pendapat tentang dua telapak tangan wanita: Sebagian mereka mewajibkan menutup kedua telapak tangan. Sebagian lain memberi keringanan (rukhshah) untuk membuka keduanya. Perkaranya dalam hal ini lapang, insya Allah. Namun menutupnya lebih utama/afdhal dalam rangka keluar dari perselisihan ulama dalam masalah ini.
Adapun dua telapak kaki, jumhur ahlil ilmi (mayoritas ulama) berpendapat keduanya wajib ditutup.
Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ


“(Boleh) apabila dira’ tersebut luas/lebar hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Bulughul Maram berkata, “Para imam menshahihkan mauqufnya hadits ini atas Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha (yakni, ucapan ini adalah perkataan Ummu Salamah bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red.).”
Berdasarkan apa yang telah kami sebutkan, wajib bagi lelaki dan wanita untuk mengenakan pakaian yang dapat menutupi tubuhnya, karena kalau pakaian itu tipis tidak menutup aurat batallah shalat tersebut. Termasuk di sini bila seorang lelaki memakai celana pendek yang tidak menutupi kedua pahanya dan tidak memakai pakaian lain di atas celana pendek tersebut sehingga dua pahanya tertutup, maka shalatnya tidaklah sah.
Demikian pula wanita yang mengenakan pakaian tipis yang tidak menutupi auratnya maka batallah shalatnya. Padahal shalat merupakan tiang Islam dan rukun yang terbesar setelah syahadatain, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin, pria dan wanita, untuk memberikan perhatian terhadapnya dan menyempurnakan syarat-syaratnya serta berhati-hati dari sebab-sebab yang dapat membatalkannya, berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha (ashar)…” (Al-Baqarah: 238)


Dan firman-Nya:


Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”


Tidaklah diragukan bahwa memerhatikan syarat-syarat shalat dan seluruh yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan berkenaan dengan shalat masuk dalam makna penjagaan dan penegakan yang diperintahkan dalam ayat.


Apabila di sisi/di sekitar si wanita itu ada lelaki ajnabi saat ia hendak shalat maka wajib (Berdasar pendapat yang mewajibkan menutup wajah, bukan yang menganggapnya sunnah. (ed)) baginya menutup wajahnya. Demikian pula dalam thawaf, ia tutupi seluruh tubuhnya karena thawaf masuk dalam hukum shalat. Wabillahi at-taufiq.” (Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/410-412)
4.Pertanyaan
Bila aurat orang yang sedang shalat tersingkap, bagaimana hukumnya?


Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Orang yang demikian tidak lepas dari beberapa keadaan :


Pertama: Bila ia sengaja/membiarkannya, shalatnya batal, baik sedikit yang terbuka/tersingkap ataupun banyak, lama waktunya ataupun sebentar.


Kedua: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka cuma sedikit maka shalatnya tidak batal.
Ketiga: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka banyak namun cuma sebentar seperti saat angin bertiup sedang ia dalam keadaan ruku lalu pakaiannya tersingkap tapi segera ia tutupi/perbaiki maka pendapat yang shahih shalatnya tidak batal karena ia segera menutup auratnya yang terbuka dan ia tidak bersengaja menyingkapnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Bertakwallah kalian kepada Allah semampu kalian.”


Keempat: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka banyak, waktunya pun lama karena ia tidak tahu ada auratnya yang terbuka terkecuali di akhir shalatnya maka shalatnya tidak sah karena menutup aurat merupakan salah satu syarat shalat dan umumnya yang seperti ini terjadi karena ketidakperhatian dirinya terhadap auratnya di dalam shalat. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh ibnu Al-Utsaimin, Fatawa Al-Fiqh, 12/300-301)


Footnote:


1 HR. Muslim no. 5547.


Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan hadits di atas termasuk mukjizat kenabian, karena telah muncul dan didapatkan dua golongan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Adapun makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ, wanita-wanita itu memakai nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tapi tidak mensyukurinya. Ada pula yang memaknakan, para wanita tersebut menutup sebagian tubuh mereka dan membuka sebagian yang lain guna menampakkan kebagusannya. Makna lainnya, mereka memakai pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya dan apa yang tersembunyi di balik pakaian tersebut.


مَائِلاَتٌ maknanya mereka menyimpang dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari perkara yang semestinya dijaga.


مُمِيْلاَتٌ maknanya mereka mengajarkan perbuatan mereka yang tercela kepada orang lain. Ada pula yang menerangkan مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ dengan makna mereka berjalan dengan miring berlagak angkuh dan menggoyang-goyangkan pundak mereka. Makna yang lain, mereka menyisir rambut mereka dengan gaya miring seperti model sisiran wanita pelacur dan mereka menyisirkan wanita lain dengan model sisiran seperti mereka.


رٌؤٌوْسٌهٌنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ maknanya mereka membesarkan rambut mereka dengan melilitkan sesuatu di kepala mereka. (Al-Minhaj, 14/336).


Sumber : http://salafy.or.id Judul: Pakaian Wanita dalam Shalat


Baca Risalah terkait ini:
1.Wajibnya Shalat Fardu di Masjid Bagi Laki-laki..
2.Shalat Berjama’ah Di Mesjid, Perintah Agama Yang Kian Ditinggalkan
3.Yang Muslimah Lakukan ketika Hendak Keluar Rumah
4.Berbicara Soal Dunia di Dalam Masjid
5.11 (Sebelas) Hal yang Dilakukan Ketika Datang dan Pulang dari Masjid
6.BAGAIMANA PAKAIAN YANG SEHARUSNYA DIKENAKAN KETIKA WAKTU SHOLAT?



BACAAN DOA SUJUD TILAWAH DAN SUJUD SAHWI

Bacaan Doa Sujud Tilawah dan Sujud Sahwi


Apa bacaannya pada saat sujud tilawah atau sujud sahwi?


Jawab:


Adapun sujud tilawah ada dua hadits yang menjelaskannya, tapi keduanya adalah hadits dho’if (lemah).


Satu : Hadits ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- :


كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِيْ سُجُوْدِ الْقُرْآنِ بِالْلَيْلِ سَجَدَ وَجْهِيْ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعُهُ وَبََصَرُهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ


Adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam beliau membaca dari sujud Al-Qur’an (sujud tilawah-pent.) pada malam hari : “Telah sujud wajahku kepada Yang Menciptakanku, maka beratlah pendengaran dan penglihatan karena kemampuan dan kekuatan-Nya”. Dan dalam riwayat Hakim ada tambahan : “Maka Maha Berkah Allah sebaik-baik pencipta”. Dan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah : “Beliau mengucapkannya tiga kali“.


Hadits ini diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahaway dalam Musnadnya 3/965 no.1679, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 1/380 no.4372, Ahmad dalam Musnadnya 6/30, Tirmidzy 2/474 no.580 dan 5/456 no.3425, An-Nasai 2/222 no.1129 dan Al-Kubro 1/239 no.714, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashhabul Hadits no.82, 83, Ibnu Khuzaimah 1/382, Hakim 1/341-342, Ad-Daraquthny 1/406, Al-Baihaqy 2/325, Abu Syaikh Al-Ashbahany dalam Ath-Thobaqat 3/513 dan Ath-Thobarany dalam Al-Ausath 4/9 no.4376.


Semua meriwayatkan hadits ini dari jalan Khalid bin Mihran Al-Hadzdza` dari Abul’Aliyah dari’Aisyah.


Cacat yang menyebabkan hadits ini lemah adalah Khalid bin Mihran tidak mendengar dari Abul’Aliyah. Berkata Imam Ahmad : “Khalid tidak mendengar dari Abul’Aliyah“. Baca : Tahdzib At-Tahdzib dan Jami’ At-Tahshil karya Al- ˜Ala`i.


Dan Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya menegaskan bahwa sebenarnya antara Khalid dan Abul’Aliyah ada perantara yaitu seorang rowi mubham (seorang lelaki yang tidak disebut namanya-pen.).


Saya berkata : Apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Khuzaimah ini memang benar karena Khalid bin Mihran dari seluruh referensi yang disebutkan di atas ia meriwayatkan dari Abul’Aliyah dengan lafadz’An (dari) sehingga riwayat Khalid ini dianggap terputus dari Abul’Aliyah apabila telah terbukti ada riwayat lain menyebutkan ada perantara antara Khalid dengan Abul’Aliyah.


Dan ternyata ada riwayat dari jalan’Isma’il bin’Ulayyah dari Khalid bin Mihran dari seorang lelaki dari Abul’Aliyah dari’Aisyah -radhiyallahu’anha-.


Riwayat’Isma’il bin’Ulayyah ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 6/217, Abu Daud 2/60 no.1414, Ibnu Khuzaimah 1/283 dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 1/325 dan As-Sughro 1/509.


Maka bisa disimpulkan bahwa hadits’Aisyah ini adalah hadits yang lemah karena Khalid tidak mendengar dari Abul’Aliyah dan perantara antara keduanya adalah seorang rawi mubham. Karena itulah hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’y -rahimahullahu- dalam Ahadits Mu’allah Zhohiruha Ash-Shihhah hadits no. 395.


Kedua : Hadits Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-


قَرَأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ سَجَدَةً ثُمَّ سَجَدَ فَسَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِيْ بِهَا عِنْدَكَ أَجَرًا وَضَعْ عَنِّيْ بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِيْ عِنْدَكَ ذَخَرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّيْ كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ


Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam membaca satu ayat dari ayat-ayat sajadah lalu beliau sujud kemudian beliau membaca doa : “Wahai Allah tulislah untukku dengannya disisiMu sebagai pahala dan letakkanlah dariku dengannya dosa dan jadikanlah untukku disisiMu sebagai modal dan terimalah dariku sebagaimana Engkau menerima dari hambaMu (Nabi) Daud“.


Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzy 2/472 no.549 dan 5/455-456 no.3424, Ibnu Majah 1/334 no.1053, Ibnu Khuzaimah 1/282-283 no.572-573, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 6/473 no.2568 dan Al-Mawarid no.691, Al-Hakim 1/341, Al-Baihaqy 2/320, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashhabul hadits no.84, Ath-Thobarany 11/104 no.11262, Al-‘Uqoily dalam Ad-Du’afa` 1/242-243, Al-Khalily dalam Al-Irsyad 1/353-354 dan Al-Mizzy dalam Tahdzib Al-Kamal 6/314.


Semuanya meriwayatkan dari jalan Muhammad bin Yazid bin Hunais dari Hasan bin Muhammad bin’Ubaidillah bin Abi Yazid berkata kepadaku Ibnu Juraij : “Wahai Hasan, kakekmu’Ubaidillah bin Abi Yazid mengabarkan kepadaku dari Ibnu’Abbas”.


Saya berkata : Dalam hadits ini ada dua cacat :


1. Muhammad bin Yazid bin Hunais. Abu Hatim berkomentar tentangnya : “Syaikhun sholihun (Seorang Syaikh yang sholeh)”. Dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqot maka rawi seperti ini tidak dipakai berhujjah kalau bersendirian karena itu Al-Hafidz menyimpulkan dari Taqrib At-Tahdzib : “Maqbul (diterima haditsnya kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada pendukungnya ia adalah layyinul hadits (lembek haditsnya)”.


2. Hasan bin Muhammad bin’Ubaidillah. Adz-Dzahaby berkomentar tentangnya : “Berkata Al-‘Uqoily : “laa yutaba’u’alaihi (Ia tidak mempunyai pendukung)” dan berkata yang lainnya : “Padanya (Hasan bin Muhammad) ada Jahalah (tidak dikenal)”. Maka rawi ini juga tidak dipakai berhujjah kalau bersendirian.. Apalagi Imam At-Tirmidzy menganggap bahwa hadits ini adalah hadits ghorib. Dan istilah hadits ghorib menurut Imam At-Tirmidzy adalah hadits lemah. Wallahu A’lam.


Kesimpulan:


Tidak ada hadits yang shohih tentang doa sujud tilawah maka kalau seseorang membaca ayat dari ayat-ayat sajadah dalam sholat kemudian ia sujud maka ia membaca doa seperti yang ia baca dalam sujud sholat. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad sebagaimana dalam Al-Mughny 2/362 dan Masail Imam Ahmad riwayat Ibnu Hany 1/98.


Adapun kalau sujud tilawahnya di luar sholat maka tidak ada syariat membaca doa apapun. Wallahu A’lam.


Adapun doa sujud sahwi kami tidak mengetahui ada doa yang khusus pada sujud sahwi tersebut mungkin karena itu Imam Ibnu Qudamah berkata bahwa yang dibaca dalam sujud sahwi adalah sama dengan apa yang dibaca pada sujud sholat.


Sumber: Baca : Al-Mughny 2/432-433. Wal ‘Ilmu’Indallah Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain, Sumber: http://an-nashihah.com/ judul: Bacaan Doa Sujud Tilawah dan Sujud Sahwi


Baca Risalah terkait ini:
0.Bolehkah Menarik Seseorang dari Shaff Untuk Sholat Bersamanya?
1.Janganlah Shaf Sholat Terputus Oleh Tiang Mesjid
2.WAJIBNYA Meluruskan Shaf Dalam Shalat
3.Jangan Engkau Shalat Kecuali Menghadap Sutrah atau Pembatas
4.8 (Delapan) Hal Wanita Sholat Berjam’ah di Masjid
5.KOREKSI SHOLAT-SHOLAT KITA
6.SUJUD SYUKUR DAN SUJUD TILAWAH
7.BACAAN DOA SUJUD TILAWAH DAN SUJUD SAHWI



Sujud Syukur dan Sujud Tilawah

Sujud Syukur dan Sujud Tilawah


Untuk melengkapi pembahasan masalah sujud sahwi pada edisi sebelum ini, kali ini kami akan menerangkan tentang sujud tilawah dan sujud syukur. Hal ini agar tidak terkesan dalam benak kita bahwa sujud yang disyariatkan selain sujud yang biasa dalam shalat hanya sujud sahwi saja.


a. Sujud Tilawah


Sujud tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :


Artinya : Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan menangis lalu berkata : ‘Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku mengabaikannya, maka neraka bagiku.’ “ (Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi)


Dengan hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta’ala dan sesuai dengan contoh Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu ‘anha :


Artinya : “Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut tertolak. (HR. Muslim)


Kemudian dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :


Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus … .”(Al Bayyinah : 5)


Sedangkan kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


Artinya : “Jika engkau berlaku syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu. (Az Zumar : 65)


Definisi Sujud Tilawah


Secara bahasa tilawah berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, sujud tilawah artinya sujud yang dilakukan tatkala membaca ayat sajdah di dalam atau di luar shalat.


Disyariatkannya Sujud Tilawah Dan Hukumnya


Sujud tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi dengan kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi.


Di antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah :


1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :


Artinya : “Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada surat (idzas sama’un syaqqat) dan (iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 1407, Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan Nasa’i dalam Sunan-nya juga 2/161)


2. Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu ‘anhu bersabda :


Artinya : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud pada surat An Najm.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)


Dari hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya sujud tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Umar radhiallahu ‘anhu pernah membaca surat An Nahl pada hari Jum’at. Tatkala sampai kepada ayat sajdah, beliau turun seraya sujud dan sujudlah para manusia.


Pada hari Jum’at setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai pada ayat sajdah tersebut, beliau berkata :


Artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud. Barangsiapa yang sujud maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa. [ Pada lafadh lain : “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan sujud tilawah, melainkan jika kita mau.” ] (HR. Bukhari)


Perbuatan Umar radhiallahu ‘anhu di atas dilakukan di hadapan para shahabat dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan ijma’ para shahabat bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam dan Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.


Syaikh Abdurrahman As Sa’di menyatakan : “Tidak ada nash yang mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al Qur’an, hadits, ijma’, maupun qiyas … .” (Taudlihul Ahkam, halaman 167)


Pendapat lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan oleh Madzhab Hanbali. Mereka berdalil dengan surat Al Insyiqaq :


Artinya : “Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak sujud. (Al Insyiqaq : 20-21)


Dengan adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman ketika dibacakan ayat Al Qur’an tidak mau bersujud. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat yang rajih (kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah diterangkan di depan. Wallahu A’lam.


Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :


Artinya : “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca surat An Najm. (HR. Bukhari)


Pada hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :


Artinya : “Saya pernah membacakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam surat An Najm, tetapi beliau tidak bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)


Dengan adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak wajib hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kadang-kadang bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak sujud. Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca –dalam hal ini Zaid bin Tsabit– tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.


Hal ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiallahu ‘anhu tidak bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama beliau radhiallahu ‘anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.


Tempat-Tempat Disyariatkannya Sujud Tilawah


Ada beberapa pendapat mengenai tempat dalam Al Qur’an yang mengandung ayat-ayat sajdah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Shan’ani dalam Subulus Salam juz 1, halaman 402-403 :


1. Pendapat Madzhab Syafi’i


Sujud tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap adanya sujud tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu surat Qaaf sampai An Nas, ada juga yang berpendapat surat Al Hujurat sampai An Nas).


2. Pendapat Madzhab Hanafi


Sujud tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung pada surat Al Hajj, kecuali hanya satu sujud.


3. Pendapat Madzhab Hanbali


Sujud tilawah terdapat pada lima belas tempat. Mereka menghitung dua sujud pada surat Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.


Pendapat pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak sujud pada surat-surat mufashal sejak berpindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud, 1403)


Ibnu Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini : “Hadits ini dlaif, pada sanadnya terdapat Abu Qudamah Al Harits bin ‘Ubaid. Haditsnya tidak dipakai.” Imam Ahmad berkata : “Abu Qudamah haditsnya goncang.” Yahya bin Ma’in berkata : “Dia dlaif.” An Nasa’i berkata : “Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits mungkar.” Abu Hatim berkata : “Dia syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya (keraguannya).”


Ibnul Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata : “Muhammad bin Abdurrahman menyerupainya dalam kejelekan hapalannya dan aib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan haditsnya.


Padahal telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika membaca surat iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya termasuk surat-surat mufashal).


Beliau masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau tujuh tahun. Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah. Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi Ibnu Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati keshahihannya, sedangkan hadits Ibnu Abbas dlaif. Wallahu A’lam. (Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 273)


Pendapat pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : “Aku sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebelas sujud yaitu, Al A’raaf, Ar Ra’d, An Nahl, Bani Israil, Al Hajj, Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Shad, dan Ha Mim As Sajdah. Tidak ada padanya surat-surat mufashal.”


Abu Dawud berkata : “Riwayat Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang sebelas sujud ini sanadnya dlaif. Hadits ini tidak ada pada riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai.”


Pendapat kedua terbantah dengan hadits ‘Amr bin ‘Ash : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membacakan kepadanya lima belas (ayat) sajdah. Tiga di antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan dua pada surat Al Hajj.” (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)


Hadits ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan bahwa sujud tilawah ada lima belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam mengomentari hadits ini, Syaikh Al Albani berkata : “Kesimpulannya, hadits ini sanadnya dlaif. Umat telah menyaksikan kesepakatannya.


Namun, meskipun hadits ini dlaif, tapi didukung oleh kesepakatan umat untuk beramal dengannya. Juga hadits-hadits shahih mendukungnya, hanya saja, sujud yang kedua pada surat Al Hajj tidak didapat pada hadits dan tidak didukung oleh kesepakatan. Akan tetapi shahabat bersujud ketika membaca surat ini. Dan hal ini termasuk hal yang dianggap masyru’, lebih-lebih tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihinya. Wallahu A’lam.” (Tamamul Minnah, halaman 270)


Adapun kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :


1. Al A’raf ayat 206.


2. Ar Ra’d ayat 15.


3. An Nahl ayat 50.


4. Maryam ayat 58.


5. Al Isra’ ayat 109.


6. Al Hajj ayat 18.


7. Al Hajj ayat 77.


8. Al Furqan ayat 60.


9. An Naml ayat 26.


10. As Sajdah ayat 15.


11. Shad ayat 24.


12. An Najm ayat 62.


13. Fushilat ayat 38.


14. Al Insyiqaq ayat 21.


15. Al ‘Alaq ayat 19.


Tata Cara Sujud Tilawah


Tata cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara hadits yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas. Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata : “Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah turun dari kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai kendaraannya. Ketika membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudlu.” Demikian penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.


Beliau menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits dari Nafi dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : “Janganlah seseorang sujud kecuali dalam keadaan suci.” Maka cara menggabungkannya adalah bahwa yang dimaksud dengan ucapannya suci adalah suci kubra (Muslim, tidak kafir) … . Ucapan ini dikuatkan dengan hadits : “Seorang musyrik itu najis.”


Ketika mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin bersama kaum musyrikin padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki wudlu) yang dibuat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata : “Pada dasarnya semua kaum Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat sajdah) dalam keadaan wudlu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang bersegera untuk sujud karena takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudlu ketika ada halangan atau gangguan wudlu.


Hal ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin, musyrikin, dari golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud bagi semuanya, padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudlunya. Dari sini diketahui bahwa sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang berwudlu maupun yang tidak. Wallahu A’lam.


Jadi, kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudlu maupun yang tidak.


Termasuk dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf mengenai hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam.


Adapun yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan dalam shalat. Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud tilawah diluar shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq : “Apabila seseorang membaca ayat sajdah diluar shalat, hendaklah mengucapkan takbir.”


Beliau (Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar yang dikatakan Syaikh Al Albani bahwa : “Sanadnya shahih.”


Adapun ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini diungkapkan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 272. Wallahu A’lam.


Dari kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak melakukan sujud tilawah :


1. Tidak diharuskan berwudlu.


2. Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.


3. Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para fuqaha.


Tentang masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani yang berbunyi : “Dari Abu Abdirrahman As Sulami berkata bahwa Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah kemudian beliau sujud tanpa berwudlu dan tanpa menghadap kiblat dan beliau dalam keadaan mengisyaratkan suatu isyarat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lihat Fathul Bari juz 2 halaman 645)


Namun, untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur fuqaha, sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.


4. Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.


5. Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang membaca sujud dan tidak bila tidak.


6. Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring) seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah munqathi’ (terputus sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.


7. Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah :


Artinya : “Wajahku sujud kepada Penciptanya dan Yang membukakan pendengaran dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. (HR. Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasa’i 1128, dan Al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)


Tidak ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh Al Albani.


b. Sujud Syukur


Sujud syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari nikmat yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali Bassam dalam Taudlihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.


Hukum Sujud Syukur


Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya. Di antara hadits-hadits yang digunakan adalah :


a. Hadits dari Abi Bakrah :


Artinya : “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam apabila datang kepadanya berita yang menggembirakannya, beliau tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 7/20477, Abu Dawud 2774, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al Iqamah, Abdul Qadir Irfan menyatakan bahwa sanadnya shahih. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani).


b. Hadits :


Artinya : “Bahwasanya Ali radhiallahu ‘anhu menulis (mengirim surat) kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan tentang masuk Islamnya Hamdan. Ketika membacanya, beliau tersungkur sujud kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata : “Keselamatan atas Hamdan, keselamatan atas Hamdan.” (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam Al Maghazi 4349. Lihat Al Irwa’ 2/226)


c. Hadits Anas bin Malik :


Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau sujud syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini terdapat Ibnu Lahi’ah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata : “Sanad ini tidak ada masalah karena ada syawahidnya.”


d. Hadits Abdurrahman bin Auf :


Artinya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam datang kepadaku dan memberi kabar gembira seraya berkata : “Sesungguhnya Rabbmu berkata kepadamu, ‘barangsiapa membaca shalawat kepadamu, Aku akan memberi shalawat kepadanya. Dan barangsiapa memberi salam kepadamu, Aku akan memberi salam kepadanya.’ “ Maka aku sujud kepada-Nya karena rasa syukur. (HR. Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)


Hadits-hadits di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim Al Hilali sebagai berikut : “Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang berakal untuk menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-hadits ini. Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu ‘anhum.


Di antara atsar-atsar para shahabat adalah :


1. Sujud Ali radhiallahu ‘anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.


2. Sujud Ka’ab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim 8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460, 6/378-390.


Menanggapi atsar-atsar ini Syaikh Salim berkata : “Oleh karena itu, seorang yang bijaksana tidak meragukan lagi untuk menyatakan disyariatkannya sujud syukur.


Barangsiapa menyangka bahwa sujud syukur merupakan perkara bid’ah, maka janganlah menengok kepadanya setelah peringatan ini.” (Lihat Bahjatun Nadhirin, jilid 2 halaman 325)


Bagaimana syarat-syarat dilaksanakannya sujud syukur?


Imam Shan’ani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud syukur di atas : “Tidak ada pada hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya syarat wudlu dan sucinya pakaian dan tempat.”


Imam Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul ‘Abbas, Al Muayyid Billah, An Nakha’i, dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa syarat sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.


Imam Yahya mengatakan pula : “Tidak ada sujud syukur dalam shalat walaupun satu pendapat pun.”


Abu Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul Authar, juz 3 halaman 106)


Imam Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudlu, suci pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat. Wallahu A’lam.


Kesimpulan


Dari keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :


1. Disyariatkannya sujud tilawah dalam shalat dan diluar shalat. Jika diluar shalat, bagi yang mendengar ayat sajdah sujud jika yang membacanya sujud. Sedangkan sujud syukur hanya dilakukan diluar shalat.


2. Hukum sujud tilawah dan sujud syukur adalah sunnah.


3. Sujud tilawah ada pada 15 tempat. Sedangkan sujud syukur dilakukan pada waktu mendapatkan kabar gembira yang besar. Bukan hanya pada setiap mendapatkan kenikmatan saja, karena nikmat Allah itu selalu diberi kepada kita. Juga dilakukan ketika terlepas dari mara bahaya.


4. Sujud tilawah dan sujud syukur boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.


5. Pada sujud tilawah disunnahkan takbir di dalam atau di luar shalat, sedangkan sujud syukur tidak.


6. Pada sujud tilawah dan sujud syukur tidak disyaratkan berwudlu terlebih dahulu.


Wallahu A’lam.


(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Zuhair bin Syarif dalam Majalah SALAFY/Edisi XXIV/1418/AHKAM) Sumber:http://salafy.or.id offline Penulis : Ust. Zuhair bin Syarif Sujud Syukur Dan Sujud Tilawah



Baca Risalah terkait ini:
0.Bolehkah Menarik Seseorang dari Shaff Untuk Sholat Bersamanya?
1.Janganlah Shaf Sholat Terputus Oleh Tiang Mesjid
2.WAJIBNYA Meluruskan Shaf Dalam Shalat
3.Jangan Engkau Shalat Kecuali Menghadap Sutrah atau Pembatas
4.8 (Delapan) Hal Wanita Sholat Berjam’ah di Masjid
5.KOREKSI SHOLAT-SHOLAT KITA
6.BACAAN DOA SUJUD TILAWAH DAN SUJUD SAHWI



Mengatakan Allah Ada Dimana-mana

Mengatakan Allah Ada dimana-mana


Penulis: Syaikh Ibnu Utsaimin


Bagaimana pandangan hukum terhadap jawaban sebagian orang:”Allah berada dimana-mana,” bila ditanya :”Dimana Allah?” Apakah jawaban seperti ini sepenuhnya benar?


Jawab :


Jawaban seperti ini sepenuhnya batil. Apabila seseorang ditanya :”Allah dimana?” hendaklah ia menjawab:”Di langit,” seperti dikemukakan oleh seorang (budak) perempuan yang ditanya oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Dimana Allah?” jawabnya: ”Di langit.”


Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata:” Allah itu ada,” maka jawaban ini sangat samar dan menyesatkan. Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana adalah kafir karena ia telah mendustakan keterangan-keterangan agama, bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta fitrah.Allah berada diatas segala mahluk. Dia berada diatas semua langit, bersemayam diatas Arsy.


(Dikutip dari terjemah Majmu’ Fatawaa wa Rasaail, juz 1 halaman 132-133)


Sumber: http://salafy.or.id Penulis: Syaikh Ibnu Utsaimin Judul: Mengatakan Allah Ada dimana-mana


Baca Risalah terkait ini:
1.Hukum Orang yang Menyakini Teori Darwin, Manusia itu Berasal dari Kera
2.Hukum Orang Yang Mengaku Mengetahui Perkara Ghaib
3.Mendatangi Tukang Ramal/Dukun dan Bertanya Kepadanya Tentang Sesuatu
4.Bersenda Gurau Dengan Menyebut Nama Allah, Alqur’an Atau Rasulullah
5.Hukum Orang Berkeyakinan bahwa Rasulullah dari Cahaya(Nur)



HUKUM MEMPELAJARI ILMU SIHIR DENGAN TUJUAN UNTUK MEMBENTENGI DIRI

Hukum Mempelajari Ilmu Sihir Dengan Tujuan Untuk Membentengi Diri


Kondisi suatu negeri yang berlatar belakang animisme dan dinamisme ternyata sangat berpengaruh bagi masyarakatnya. Sisa-sisa ajaran tersebut nampak berbekas walau pun sudah berlalu sekian lama dari masa. Terlebih lagi di saat ilmu Dien yang bertumpu pada tauhid dan menjauhi kesyirikan mulai langka di masyarakat. Akibatnya, syirik dikira tauhid dan tauhid dikira syirik, sunnah dikira bid’ah, dan bid’ah dikira sunnah, kebenaran dikira kebatilan, dan kebatilan dikira kebenaran.


Di antara warisan animisme dan dinamisme yang masih bercokol di tengah-tengah masyarakat adalah sihir. Bahkan semakin parah di saat kalangan yang beridentitas ”Santri” bahkan “Kyai” ada yang menekuni dan mengajarkannya dengan dihiasi wirid-wirid tertentu, seraya berkata: “Ini ilmu putih bukan ilmu hitam”. Padahal hakekatnya sama-sama hitamnya dan sama-sama sihirnya.


Akibatnya orang-orang awam pun terpengaruh. Ada yang mempelajarinya dalam rangka membentengi diri (pagar diri) atau untuk memukul lawannya dengan sihir tersebut, ada pula yang berobat dari sakitnya (disihir) dengan mendatangi para tukang sihir.


Demikianlah di antara sketsa kehidupan masyarakat kita. Namun di lain pihak ada orang-orang yang tidak percaya dengan adanya sihir, bahkan menyatakan bahwa sihir itu tidak ada hakekatnya, sebagai reaksi balik terhadap pihak yang pertama tadi.


Oleh karena itu dalam edisi kali ini, kami angkat topik seputar sihir, sebagai tambahan ilmu untuk masyarakat, sekaligus sebagai bimbingan agar terhindar dari bahaya sihir, kekufuran, dan kesyirikan, menuju tauhid dan jalan kebenaran.


Pengertian Sihir


Sihir secara lughowi (bahasa) adalah ungkapan tentang suatu perkara yang disebabkan oleh sesuatu yang samar dan lembut. Sedangkan menurut istilah syariat terbagi menjadi dua makna :


Pertama : Yaitu buhul-buhul dan mantera-mantera, maksudnya adalah bacaan-bacaan dan mantera-mantera yang dijadikan perantara oleh tukang sihir untuk minta bantuan pada syaithon dalam rangka memberi kemudharatan kepada orang yang disihir. Akan tetapi Allah ? telah berfirman:


وَ مَا هُمْ بِضَارِّيْنَ به من أَحَدٍ إَلاَّ بِإِذْنِ اللهِ


Dan mereka itu (ahli sihir) tidak akan mampu memberikan mudharat dengan sihirnya kepada siapa pun, kecuali dengan idzin Allah”. (QS. Al Baqarah :162)


Kedua : yaitu berupa obat-obatan atau jamu-jamuan yang berpengaruh terhadap orang yang disihir, baik secara fisik, mental, kemauan dan kecondongannya. Sehingga engkau dapati orang yang disihir tersebut berpaling dan berubah (dari kebiasaanya). (Al Qoulul Mufid karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin juz 1, hal. 489)


Hukum Sihir


Sihir dalam bentuk apapun, diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan keharaman ini terbagi menjadi dua macam :


Pertama : Sihir yang termasuk perbuatan syirik, jika menggunakan perantara para syaithon (jin-jin kafir), dimana para tukang sihir tersebut beribadah dan mendekatkan diri kepada para syaithon (jin-jin kafir) supaya bisa menguasai orang yang akan disihir.


Kedua : Sihir yang termasuk perbuatan permusuhan dan kefasikan, jika tukang sihir hanya sebatas menggunakan perantara obat-obatan (jejamuan) dan sejenisnya. (Al Qoulul Mufid juz 1, hal. 489)


Kafirkah Tukang Sihir ?


Para Ulama berbeda pendapat tentang tukang sihir. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa tukang sihir itu kafir, dan di antara yang berpendapat demikian adalah Al Imam Malik, Al Imam Abu Hanifah dan Al Imam Ahmad bin Hanbal.


Berkata Al Imam Ahmad rahimahullah kepada para muridnya: “…..kecuali sihirnya dengan obat-obatan, asap dupa dan menyiram sesuatu yang bisa memberikan mudharat, maka tidaklah kafir. (Fathul Majid hal. 336)


Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata: “…akan tetapi dengan pembagian yang telah kami sebutkan tentang hukum permasalahan ini menjadi jelaslah barangsiapa yang sihirnya dengan perantara syaithon (jin-jin kafir-red) maka dia telah kafir. Karena kebanyakannya tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya unsur kesyirikan (penyembahan terhadap syaithon tersebut -red). Hal ini didasarkan pada firman Allah ? :


وَ اتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِيْنُ على مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَ مَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَ لَكِنَّ الشَّيَاطِيْنَ كَفَرُوا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْرَ وَ مَا أُنْزِلَ على الْمَلَكَيْنِ بِبَابِيْلَ هرُوْتَ وَ مرُوْتَ, وَ مَا يُعَلِّمَانِ من أَحَدٍ حَتَّى يَقُوْلآ إَنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ


“Dan mereka mengikuti apa-apa yang dibaca oleh para syaithon pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), hanya para syaithon itulah yang kafir (karena mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak akan mengajarkan sesuatu kepada siapa pun, sebelum keduanya mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah engkau kafir”. (QS. Al Baqarah :102)


Sedangkan tukang sihir yang menggunakan obat-obatan (jamu-jamuan/ramu-ramuan) dan sejenisnya maka dia tidak kafir, akan tetapi dia telah berbuat dosa yang sangat besar.


Apakah Sihir Ada Hakekatnya ?


Ya! Sihir ada hakekatnya dan terjadi dengan sebenarnya, akan tetapi segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali dengan idzin Allah ? dan ini merupakan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang didasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah.


Berkata Abu Muhammad Al Maqdisi di dalam Al Kaafi setelah menyebutkan ayat : وَ من شَرِّ النَّفَاثَاتِ فى الْعُقَدِ


…dan dari kejelekan hembusan-hembusan para tukang sihir pada buhul-buhul”. (QS. Al Falaq : 4)


Kalau sihir tidak ada hakekatnya niscaya Allah tidak akan memerintahkan agar memohon perlindungan kepada-Nya dari bahaya sihir”. (Fathul Majid hal. 335)


Demikian pula Rasulullah ? sendiri pernah disihir oleh seorang Yahudi yang bernama Labid bin Al A’shom. Sebagaimana hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori rahimahullah :


أَنَّ النَّبِيَّ ? سُحِرَ حَتَّى لَيُخَيَّلَ إلَيْهِ أنَّهُ يَفْعَلُ الشَيْءَ وَ مَا يَفْعَلُهُ وَ أنَّهُ قَالَ لَهَا ذَاتَ يَوْمٍ : أَتَاني مَلَكَانِ وجَلَسَ أَحَدُهما عِنْدَ رَأْسِي وَ الأخَرُ عِنَدَ رِجْلي, فَقَالَ : ما وَجَعُ الرَّجُلِ ؟ قَالَ : مَطْبُوْبٌ وَ مَنْ طَبَِّهُ ؟ قَالَ : لَبِيْد بن الأَعْصَم …


Sesungguhnya Nabi ? disihir sehingga dikhayalkan padanya bahwa beliau melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya. Dan beliau ? pada suatu hari berkata kepada Aisyah : “Telah datang padaku dua malaikat, salah satunya duduk di dekat kepalaku dan yang lainnya di dekat kakiku. Salah satu malaikat tersebut berkata kepada yang lainnya: “Apa penyakit laki-laki ini (Rasulullah)?. Yang satunya menjawab terkena sihir”. “Siapa yang menyihirnya ?”. Satunya menjawab “Labid bin Al A’shom …” .


Berkata Ibnul Qoyyim : “Dan telah mengingkari hal ini (disihirnya Rasulullah ? -red) sekelompok manusia. Mereka mengatakan: “Tidak boleh ini menimpa diri Rasul, bahkan mereka menganggap ini sebagai suatu kekurangan dan aib “. Dan perkaranya tidak seperti yang mereka duga, akan tetapi sihir tersebut adalah dari jenis perkara (penyakit) yang berpengaruh terhadap diri Rasulullah ?, hal ini termasuk dari jenis-jenis penyakit yang menimpanya sebagaimana beliau ? juga tertimpa racun, dimana tidak ada perbedaan antara pengaruh sihir dengan racun”. (Zaadul Ma’ad juz 4, hal. 124)


Al Imam Ibnul Qoyyim Juga menyebutkan dari Al Qodhi ‘Iyadh, bahwasanya beliau berkata: “Kejadian disihirnya Rasulullah ? tidak menodai kenabian beliau. Adapun keberadaan atau kejadian beliau ? dikhayalkan melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya, hal ini tidaklah mengurangi sifat shiddiq yang ada pada diri beliau ? . dikarenakan adanya dalil bahkan ijma’ atas kemaksuman beliau ? dari hal tersebut, akan tetapi hal ini suatu perkara duniawi yang mungkin bisa menimpanya. Yang beliau ? tidak diutus karena sebab tersebut dan tidak diberi keutamaan, karenanya pula beliau dalam hal ini seperti manusia yang lainya, maka tidak mustahil untuk dikhayalkan kepada beliau ? dari perkara-perkara yang tidak ada hakekatnya baginya, kemudian hilang dari beliau dan kembali seperti keadaan semula. (Zaadul Ma’ad juz 4, hal. 124)


Ancaman Allah Dan Rosul-Nya Terhadap Tukang Sihir


Di antara ancaman-ancaman Allah ? di dalam Al Qur’an adalah firman-Nya: وَ لَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فى الأخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ


“…dan sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tidaklah ada keuntungan baginya di akhirat”. (QS. Al Baqarah : 102)


Berkata Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat tersebut :


( من خَلاَقٍ yaitu مِنْ نَصِيْبٍ ) “Tidak ada baginya bagian di akhirat.”


Berkata Al Hasan : ( فَلَيْسَ له دِيْنٌ ) : “ Tidak ada agama baginya.”


Adapun ancaman dari Allah ? adalah sebagaimana di dalam riwayat Al Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Hurairoh, beliau ? bersabda :


اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المَُوْبِقَاتِ ؟ قَالُوا يَارَسُوْلَ اللهِ وَ مَا هُنَّ ؟ قَالَ الشِرْكُ بِاللهِ وَ السِّحْرُ وَ قَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَ أَكْلُ الرِّبَا وَ أَكْلُ ماَلِ الْيَتِيْمِ وَ التَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَ قَذْفُ الْمحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ


Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa tujuh perkara tersebut?. Beliau ? menjawab: “Berbuat syirik kepada Allah ?, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan untuk dibunuh kecuali dengan haq (benar), makan riba, makan harta anak yatim, lari dari pertempuran dan menuduh zina wanita mukminah yang terhormat serta menjaga kehormatan”.


Apa Hukum Mempelajari Ilmu Sihir Dengan Tujuan Untuk Membentengi Diri ?


Mempelajari ilmu sihir hukumnya haram, baik untuk diamalkan maupun sekedar untuk membentengi diri dari sihir. Karena Allah ? telah menyebutkan di dalam Al Qur’an bahwa belajar ilmu sihir merupakan salah satu bentuk kekufuran.


وَ لَكِنَّ الشَّيَاطِيْنَ كَفَرُوا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْرَ وَ مَا أُنْزِلَ على الْمَلَكَيْنِ بِبَابِيْلَ هرُوْتَ وَ مرُوْتَ, وَ مَا يُعَلِّمَانِ من أَحَدٍ حَتَّى يَقُوْلآ إَنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ


Mereka (syaithon-syaithon) mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu) oleh sebab itu janganlah kamu kafir”. (QS. Al Baqarah : 102)


Dan juga sebagaimana disebutkan pada hadits yang sebelumnya bahwa sihir merupakan bagian dari tujuh perkara yang membinaskan (المُوْبِقَات).


Bagi yang membolehkan belajar ilmu sihir hanya sekedar untuk memenbentengi diri, mereka berdalil dengan hadits : تَعَلَّمُوا السِّحْرَ وَلاَ تَعْمَلُوا بِهِ


“Belajarlah kalian ilmu sihir dan jangan mengamalkannya”. Perlu diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu. (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah jilid 1, hal. 38)


Bagaimana Pergi Ke Tukang Sihir Untuk Mengobati Atau Menghilangkan Sihir ?


Tidak boleh bagi orang yang terkena sihir pergi ke tukang sihir untuk menghilangkan sihir yang menimpa dirinya, berdasarkan pada keumuman sabda Rasulullah ? : لَيْسَ مِنَّا من تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ له أو تَكَهَّنَ أو تُكُهِّن له أو سَحَرَ أو سُحِرَ له


Bukan dari golonganku (Rasulullah) orang yang mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya atau minta diundikan untuknya, meramal sesuatu yang ghaib (dukun) atau minta diramalkan untuknya atau melakukan sihir atau minta disihirkan untuknya”. (HR. At Thabrani)


Dan didasarkan pula pada sabda Rasulullah ? tatkala ditanya tentang An Nusyroh (menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir dengan sihir yang sama). Rasulullah ? menjawab:


هَي من عَمَلِ الشَّيْطَانِ


Itu adalah perbuatan syaithon”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Al Baihaqi) serta sabda Rasulullah ? :


Berobatlah kalian dan jangan kalian berobat dengan sesuatu yang haram, karena sesungguhnya tidaklah Allah ? menurunkan suatu penyakit kecuali Allah ? telah menurunkan obatnya pula”.


Cara Yang Syar’i Dalam Mengobati Sihir


1. Mengeluarkan sihir tersebut dan membatalkannya, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang shohih dari Nabi ? bahwasanya beliau ? berdo’a kepada Allah ? dalam perkara sihir tersebut. Maka Allah tunjukkan kepada beliau ? (tempat buhul-buhul tersebut), kemudian beliau mengeluarkannya (mengambil buhul-buhul tersebut) dari suatu sumur. Maka hilanglah apa yang ada pada beliau, seakan-seakan beliau lepas dari ikatan.


2. Dengan dirukyah, yaitu dengan dibacakan Al Qur’an dan do’a-do’a (yang bersumber dari Rasulullah ?) kepada yang terkena sihir. Misalnya dengan dibacakan surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas, dan yang lainnya dari ayat-ayat Al Qur’an kemudian ditiupkan kepada yang sakit, maka insya Allah akan sembuh. (Zaadul Ma’ad juz 4, hal. 124-127)


Wallahu A’lam bish Showab


Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=13 Judul: Mewaspadai Bahaya Sihir


Baca Risalah terkait :
1.TATA CARA MENANGKAL DAN MENANGGULANGI SIHIR
2.Tata Cara Pengobatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam
3. Mengetahui Perbedaan Antara JIN, SETAN dan IBLIS
4.Tahukah Anda bahwa Malaikat, Manusia dan Jin Tidak Dapat Mengetahui yang Ghaib



Adzan di Telinga Kanan dan Iqomat di Telinga Kiri Pada Saat Kelahiran si Bayi

Adzan di telinga bayi di saat ia baru lahir, hampir termasuk perkara yang disepakati. Fenomena seperti ini, nampak tersebar di Negeri kita yang jauh dari Ulama rabbaniyyin yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sehingga membantu pesatnya perkembangan masalah yang satu ini. Selain itu, banyak da’i yang berpangku tangan dan tidak mau meneliti masalah ini lebih detail lagi dari segi keakuratan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini, masalah disyari’atkannya adzan ditelinga bayi di hari kelahirannya. Apalagi setelah tersebarnya kitab-kitab Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- di dalamnya beliau menjelaskan bahwa derajat hadits adzan di telinga bayi adalah “hasan”, tanpa mau lagi berusaha mengetahui dan meneliti derajat hadits-hadits itu.

Sebagai beban dan amanah ilmiah, kami turunkan takhrij hadits adzan di telinga bayi, sekaligus menyebutkan rujuknya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- dari meng-hasan-kan hadits tersebut, setelah nyata bagi beliau bahwa semua jalur periwayatannya lemah, tidak bisa saling menguatkan satu dengan lainnya agar para pembaca yang budiman mengetahuinya dan bisa meralat segala kekeliruan yang ia yakini dan lakukan sebelumnya, berupa adzan di telinga bayi saat baru dilahirkan ke dunia.
Menurut pemeriksaan para ulama terhadap riwayat-riwayat dan jalur-jalur hadits adzan di telinga bayi, cuma ada tiga jalur atau empat:
Hadits Pertama
Hadits ini berasal dari Abu Rofi’, bekas budak Rasulullah, ia berkata: “Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adzan, seperti adzan sholat, di telinga Al-Hasan bin Ali, ketika Fathimah -radhiyallahu ‘anha- melahirkannya”.
HR. Abu Dawud (5105), At-Tirmidziy (4/1514), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (9/300), dan dalam Asy-Syu’ab (6/389-390), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (931-2578), dan dalam Ad-Du’a (2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdur-Razzaq (7986), Ath-Thoyalisiy (970), Al-Hakim (3/179), dan Al-Baghowiy dalam Syarh As-Sunnah (11/273).
Al-Hakim berkata, “Shohih sanadnya sekalipun keduanya (Al-Bukhoriy dan Muslim) tidak mengeluarkannya”. Akan tetapi, ia disanggah oleh Adz-Dzahabi seraya berkata : “Ashim dho’if (lemah)”. At-Tirmidzi berkata, “Semua meriwayatkannya dari jalur Sufyan Ats-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari bapaknya”.
Ini juga merupakan HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (926,2579), dan dibawakan hadits ini oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id (4/60) dari jalur Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rofi’ dengan sedikit tambahan, “Beliau adzan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain”. Dia berkata di akhirnya, “Beliau memerintahkan hal itu kepada mereka”.
Di dalam sanad hadits ini terdapat Hammad bin Syu’aib. Ibnu Ma’in telah men-dho’if-kannya. Al-Bukhoriy berkata, “Mungkar haditsnya”. Pada tempat lain, ia berkata: “Mereka meninggalkan haditsnya”. Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma’ (4/60), “Di dalamnya terdapat Hammad bin Syu’aib, sedang ia itu lemah sekali”.
Di dalamnya juga terdapat Ashim bin Ubaidillah, seorang yang dho’if (lemah). Selain itu, Hammad telah menyelisihi Sufyan Ats-Tsaury, baik dalam hal sanad maupun redaksi hadits, sebab ia telah meriwayatkannya dari Ashim dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rofi’. Dia menggantikan Ubaidullah bin Abi Rofi’ dengan Ali bin Al-Husain, dan ia juga menambahkan lafazh pada redaksi hadits, “…Al-Husain”, dan perintah beradzan. Hammad yang ini termasuk orang yang tidak diterima haditsnya, jika menyendiri dalam meriwayatkan hadits, karena kelemahan pada dirinya yang telah anda ketahui. Apalagi ia menyelisihi orang yang lebih tsiqoh (terpercaya) dan teliti daripada dirinya seperti Ats-Tsaury. Dengan ini, hadits Hammad menjadi mungkar karena kelemahannya pertama, dan kedua, penyelisihannya terhadap orang yang lebih tsiqoh.
Adapun jalur kedua dari Sufyan, terdapat seorang yang bernama Ashim bin Ubaidillah. Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata dalam At-Taqrib, “Dia lemah”. Al-Hafizh juga menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42), Syu’bah berkata, “Andaikan Ashim ditanya, “Siapakah yang membangun Masjid Bashrah, niscaya ia akan menjawab, “Fulan dari fulan dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau telah membangunnya”. Ini untuk menggambarkan rowi ini mudah meriwayatkan hadits, tanpa memperhatikan hadits yang ia riwayatkan sehingga ia banyak menyelisihi orang yang lebih tsiqoh.
Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan (2/354), “Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata: Ashim adalah haditsnya mungkar . Ad-Daruquthny berkata: Ia ditinggalkan, orangnya lalai”. Lalu ia membawakan hadits hadits Abu Rofi’, “Bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengadzani telinga Al-Hasan dan Al-Husain”. Ringkasnya, hadits ini dho’if (lemah) karena masalahnya ada pada Ashim, sedang Anda telah tahu keadaan dirinya.
Ibnul Qoyyim menyebutkan dalam dalam kitabnya Tuhfah Al-Wadud (hal.17) hadits Abu Rofi’, lalu membawakan dua hadits :satunya dari Ibnu Abbas, dan lainnya lagi dari Al-Husain bin Ali . Beliau menjadikan kedua hadits ini sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’ dan membuatkan judul, “Bab: Dianjurkannya adzan ditelinga bayi”. Hal ini sebenarnya kurang tepat sesuai dengan pembahasan yang akan anda ketahui sebentar, Insya Allah Ta’ala.
Hadits Kedua
Adapun hadits kedua dari Ibnu Abbas , diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amer bin Saif As-Sadusy, ia berkata, Al-Qosim bin Muthoyyib Telah menceritakan kami dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas: ”Bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adzan di telinga Al-Hasan bin Ali pada hari ia dilahirkan, di telinga kanannya. Beliau melakukan iqomat pada telinga kirinya”.
Setelah itu, Al-Baihaqi berkata: “Pada sanadnya terdapat kelemahan”. Kami katakan, “Bahkan hadits ini palsu”. Penyakitnya ada pada Al-Hasan bin Amer . Al-Hafizh berkata dalam At-Taqrib, “Orangnya matruk/ditinggalkan”. Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (1/2/26), biografi (no.109), “Saya pernah mendengarkan bapakku berkata:[Kami pernah melihat Al-Hasan bin Amer di Bashrah, dan kami tak menulis hadits darinya, sedang dia itu ditinggalkan haditsnya]”. Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan, “Al-Hasan bin Amer dikatakan pendusta oleh Ibnul Madiny. Al-Bukhory berkata, “Dia pendusta”. Ar-Rozy berkata, “Dia ditinggalkan”.”.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, diantara kaedah-kaedah Ilmu Mushtholah Hadits bahwa hadits dho’if (lemah) tak akan bisa meningkat menjadi hadits shohih atau hasan, kecuali ia datang dari jalur periwayatan yang lain, dengan syarat: Tak ada orang yang parah ke-dho’if-annya/kelemahannya dalam jalur tersebut, apalagi sampai ada pendusta. Jadi, hadits kedua dari Ibnu Abbas ini -sedang kondisinya begini- tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antara konsekuensi ilmu hadits, hadits Ibnu Abbas tersebut tidak bisa dijadikan sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’. Jadi, hadits Abu Rofi’ tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if, sedang hadits Ibnu Abbas adalah palsu!!
Hadits Ketiga
Adapun hadits Al-Hasan bin Ali, hadits ini diriwayatkan oleh Yahya ibnul Ala’ dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubaidillah dari Al-Hasan bin Ali, ia berkata: Bersabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barang siapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia mengadzani pada telinga kanannya dan beriqomat pada telinga kirinya, niscaya anak itu tak akan dimudhorotkan/dibahayakan oleh Ummu Shibyan”. [HR. Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (6/390) , Ibnus Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah (623). Hadits ini dibawakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’’ (4/59) seraya berkata, “HR.Abu Ya’la(6780), di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Marwan bin Salim Al-Ghifary, sedang ia itu matruk /ditinggalkan”.
Bahkan hadits Al-Husain bin Ali di atas adalah palsu, di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Yahya Ibnul Ala’ dan Marwan bin Salim, keduanya memalsukan hadits sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (321). Nah, Hadits Abu Rofi’ tetap kondisinya sebagai hadits dho’if sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Talkhish (4/149): “Inti permasalahannya pada Ashim bin Ubaidillah, sedang ia itu dho’if.
Dulu Syaikh Al-Albany meng-hasan-kan hadits ini dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (1224), Shohih Sunan Abu Dawud (4258), Al-Irwa’ (4/401), dan Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (1/493).
Namun belakangan Syaikh Al-Albany meralat peng-hasan-an beliau terhadap hadits Abu Rofi’ (hadits pertama) dalam Adh-Dho’ifah pada cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Ma’arif (1/494/no.321), “Sekarang saya tegaskan –sekalipun kitab Asy-Syu’ab telah dicetak-, bahwa hadits Ibnu Abbas tidak cocok untuk dijadikan penguat (bagi hadits Abu Rofi’-pent.), karena di dalamnya terdapat rawi pendusta dan matruk (ditinggalkan). Saya amat heran terhadap Al-Baihaqy dan Ibnul Qoyyim, bagaimana keduanya cuma men-dho’if-kan hadits tersebut sehingga saya hampir memastikan cocoknya hadits itu dijadikan sebagai penguat. Makanya, sekarang aku pandang diantara kewajiban saya untuk mengingatkan hal itu dan mentakhrijnya pada pembahasan akan datang (no.6121)”.
Disana ada sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam kitab “Manaqib Al-Imam Ali” (113) dari Ibnu Umar secara marfu’. Cuma sayangnya hadits ini lagi-lagi tidak bisa dijadikan penguat karena di dalamnya ada pendusta. Abu Ishaq Al-Huwainy berkata dalam Al-Insyirah (hal.96), “Kesimpulannya, tak ada satu haditspun menjadi penguat bagi hadits ini menurut yang saya ketahui, Wallahu a’lam”.
Jadi, tiga hadits di atas tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya meng-adzan-i, dan meng-iqomat-i telinga bayi yang baru lahir, karena kelemahan dan kepalsuannya.

Dikutip dari http://almakassari.com dari Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 02 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp). Judul asli: Adzan ditelinga bayi.

Friday, December 17, 2010

Kehidupan Dunia

Firman Allah SWT dalam surat Al Mu'min ayat 39-40: 
39. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.

40. Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.
Hadits Rasulullah saw dalam kumpulan Hadits Al Bayan no: 577 Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w telah bersabda: Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berjalan ke sana sini meminta-minta kepada manusia, kemudian diberikan dengan satu dua suap makanan dan satu dua biji buah kurma. Para Sahabat bertanya: Kalau begitu siapakah orang miskin yang sebenarnya wahai Rasulullah? Rasulullah s.a.w bersabda: Orang yang tidak mendapati kesenangan yang mencukupi buatnya tetapi orang lain tidak tahu karena kesabaran dia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain, dia akan diberikan sedekah tanpa dia meminta dari orang lain.

1611 Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a katanya: Tiga orang lelaki telah berkumpul di dekat Baitullah, dua orang daripadanya Quraisy dan seorang lagi banyak pengetahuan agama atau dua orang yang banyak pengetahuan agama dan seorang Quraisy yang sedikit pengetahuan agamanya serta perutnya buncit. Salah seorang di antara mereka berkata: Pada pendapat kamu adakah Allah mendengar kata-kata kita? Lelaki kedua berkata: Dia mendengar percakapan yang keras dan tidak mendengar percakapan yang perlahan. Lelaki ketiga berkata: Sekiranya Dia mendengar percakapan yang keras nescaya Dia juga mendengar percakapan yang perlahan. Lalu Allah s.w.t menurunkan ayat 22 surat Fushshilat: (Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.)

Sebentar lagi akan terjadi pergantian tahun Masehi yang sebelumnya pergantian tahun Hijriyah. Kedua pergantian tahun ditanggapi dengan cara yang berbeda, pergantian tahun hijriyah dengan prihatin, ada yang berendam di pertemuan sungai sampai ada yang meninggal terhanyutkan air banjir, dan acara ritual yang lain seolah menghadapi perubahan tahun yang sangat menghawatirkan, agar selamat nantinya. Namun berdasarkan sambutan tahun baru Masehi yang lalu-lalu, selalu ditanggapi dengan pesta pora semalam suntuk sampai pagi se-olah tahun baru memberikan kebahagiaan baru. Sedang kita tahu bahwa antara hari Masehi dan Hijriyah tidak beda sama sekali, hanya beda penyebutannya. Sebenarnya perubahan tahun adalah hal yang alamiah bukan sesuatu yang luar biasa. Namun yang harus diingat adalah datangnya tahun baru hendaknya mengingatkan kita bahwa umur kita untuk beribadah kepada Allah SWT sudah berkurang satu tahun lagi. Oleh karena itu, marilah kita sambut tahun baru apapun dengan meningkatkan ibadah kita, jangan hanya mengejar kehidupan dunia yang sifatnya hanya sementara itu, karena kehidupan akhirat adalah kekal, bagi yang beriman dan beramal shaleh akhirat menjadi tempat yang menyenangkan dan disyukuri, namun bagi mereka yang tidak mempersiapkannya dengan baik, maka yang diperoleh adalah kesengsaraan yang kekal dan disesali. Wallahu a'lam.